Senin, 15 Juni 2009

WILAYATUL HISBAH, PERAN DAN KEWENANGANNYA

A. PENDAHULUAN :

Penyebaran Islam ke Indonesia secara intentif dimulai pada abad VI Masehi. Aceh merupakan wilayah pertama kali yang menerima Islam. Masyarakat Aceh amat tunduk kepada ajaran Islam dan mereka taat serta memperhatikan fatwa ulama, karena ulamalah yang menjadi pewaris Nabi Saw. Penghayatan terhadap ajaran Islam dalam masa yang panjang itu telah melahirkan budaya Aceh yang tercermin dalam kehidupan adat berdasarkan dari renungan para ulama kemudian di praktekkan, dikembangkan dan dilestarikan, lalu disimpulkan menjadi “Adat bak Poteomeureuhom, hukom bak Syiah Kuala, Qanun bak Putro Phang, Reusam bak laksamana” yang artinya “Hukum adat di tangan pemerintah dan hukum syari’at ada di tangan Ulama”. Kata-kata ini merupakan pencerminan dari perwujudan Syari’at Islam dalam praktek hidup sehari-hari bagi masyarakat Aceh masa itu.

Tidak bisa dipungkiri bahwa kejayaan Aceh pada masa lalu adalah buah dari Pelaksanaan Syari’at Islam dalam kehidupan bermasyarakat saat itu. Berdasarkan motivasi mewujudkan kembali kejayaan Aceh dimasa lalu, serta keluar dari konflik yang berkepanjangan, maka menguatlah keinginan putra-putra Aceh untuk melaksanakan Syari’at Islam dalam seluruh aspek kehidupan secara formal dengan menuangkannya dalam Peraturan Daerah (PERDA), yang kemudian dikenal dengan nama Qanun. Konsep yang mengatur tentang pelaksanaan Syari’at Islam ini terdapat dalam peraturan Daerah nomor 5 tahun 2000. PERDA Provinsi NAD nomor 33 tahun 2001 tentang susunan organisasi dan Tata Kerja Dinas Syari’at Islam. Untuk mengontrol / mengawasi Pelaksanaan Syari’at Islam di lapangan Pemerintahan Daerah membentuk badan Wilayatul Hisbah (WH) yang tata kerja dan kewenangannya di atur dalam keputusan Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam nomor 01 tahun 2004.

B. LANDASAN HISTORIS WILAYATUL HISBAH

Wilayatul Hisbah (WH) adalah sebuah badan atau lembaga yang diperkenalkan kembali kepada masyarakat Aceh. Lembaga ini sudah sekian lama tidak dikenal oleh masyarakat seiring perkembangan zaman kearah medernisasi. Sejarawan menyebutkan bahwa Wilayatul Hisbah merupakan lembaga yang popular di masa-masa kejayaan agama Islam, sehingga istilah WH (kontek kekinian) terdapat dalam kitab-kitab fiqh terutama as-Siyasatusy Syar’iyyah, al-Ahkamus Sulthaniyyah atau an-Nuzhumul Islamiyah.

Dalam kitab As-Siyasatusy Syar’iyyah diuraikan tiga otoritas penegakan Hukum yaitu:

1. Wilayatul Qadha yaitu lembaga atau badan yang berwenang untuk menyelesaikan sengketa sesama rakyat atau badan arbitrase (perdamaian)

2. Wilayatul Mazhalim yaitu lembaga atau badan yang berwenang menyelesaikan sengketa ketataniagaan negara serta sengketa antara pejabat dengan rakyat atau antara bangsawan dengan rakyat jelata (dalam istilah yudikatif sekarang disebut PTUN)

3. Wilayatul Hisbah yaitu badan pemberi ingat dan badan pengawas. Atau yang berwenang mengingat anggota masyarakat tentang aturan-aturan yang harus di ikuti, cara menggunakan dan mentaati peraturan serta tindakan yang harus dihindari karena pertentangan dengan peraturan.

C. PERAN DAN KEWENANGAN WH

Ø Peran WH

Seiring pemberlakuan undang-undang Republik Indonesia No 44 tahun 1999 tentang penyelenggaraan keistimewaan provinsi daerah istimewa Aceh dan UU Republik Indonesia No 18 tahun 2001 tentang otonomi Khusus bagi provinsi Nanggroe Aceh Darussalam serta PERDA No 5 tahun 2000 tentang pelaksanaan Syari’at Islam maka terbentuklah sebuah lembaga WH yang dikuatkan dengan Surat Keputusan (SK) Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam No 01 tahun 2004 tentang organisasi dan tata kerja Wilayatul Hisbah yang keberadaannya diharapkan untuk mengawasi pelaksanaan Syari’at Islam di Nanggroe Aceh Darussalam. Di samping itu untuk memperkuat pengawasannya di lapangan dibentuk pula Muhasib-Muhasib gampong yang terdiri dari tuha peut gampong dan tokoh-tokoh muda sebagai Wilayatul Qura yang bekerja secara suka rela ditingkat gampong masing-masing, lembaga ini diharapkan bisa bekerja mengawasi pelaksanaan Syari’at Islam di tingkat yang paling rendah dan satu hubungan yang bersifat koordinatif, konsultatif dan komunikatif dengan Wilayatul Hisbah yang bertugas di kecamatan dan Kabupaten.

Ø Kewenangan WH

Di dalam keputusan Gubernur NAD No 01 tahun 2004 tentang kewenangan pembentukan Organisasi WH dijelaskan :

  1. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan dan pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang Syari’at Islam
  2. Melakukan pembinaan dan advokasi spiritual terhadap setiap orang yang berdasarkan bukti permulaan patut diduga telah melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di bidang syari’at Islam
  3. Menegur menasehati, mencegah dan melarang setiap orang yang patut di duga telah, sedang atau akan melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di bidang Syari’at Islam
  4. Melimpahkan perkara pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang Syari’at Islam ke penyidik.

Dari beberapa kewenangan yang telah ditetapkan melalui keputusan Gubernur tersebut dapatlah dipahami bahwa kewenangan yang ada pada WH sangatlah terbatas terlebih apabila kita melihat harapan dan anggapan masyarakat bahwa WH berada di garda yag paling depan dan bisa terlibat dalam kasus atau perkara apa saja karena setiap perkara tidak terlepas kaitannya dengan syari’at Islam, bahkan tidak jarang WH mendapat ejekan dan cemoohan serta tudingan masyarakat bahwa WH ”mandul” dan tidak mampu bekerja sesuai perannya.

Keterbatasan kewenangan tersebut disebabkan personil WH saat ini belum ada yang berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS), apalagi Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang secara hukum berfungsi sebagai penyidik dan bisa melakukan sebagian dari tugas-tugas kepolisian umpamanya : menangkap, menggeledah, menyita dan menahan seseorang yang dianggap perlu demi tegaknya peraturan dan perundang-undangan. Untuk sementara ini WH tidak bisa melakukan hal-hal semacam itu karena bisa di pra- peradilan kan dengan tuduhan non prosudural. Maka dalam pergerakannya WH saat ini lebih mengarah kepada dakwah-dakwah yaitu mengingatkan masyarakat terhadap peraturan dan perundang-undangan di bidang Syari’at Islam melalui patroli penyambangan WH juga terus melakukan sosialisasi melalui media elektronik dengan melakukan dialog di radio-radio, ceramah-ceramah di balai pengajian yang santriwan-santriwatinya dari kalangan remaja serta bekerjasama dengan dinas Pendidikan dan Pengajaran untuk melaksanakan seminar di sekolah-sekolah tingkat menengah (MTsN dan SMP) dan tingkat atas (SMA, SMK dan MAN).

D. KENDALA-KENDALA YANG DIHADAPI

Dalam melaksanakan tugasnya sebagai pengawasan, peraturan dan perundang-undangan di bidang syari’at Islam WH banyak menghadapi kendala-kendala diantaranya adalah:

  1. Keterbatasan Qanun

Penerapan syari’at Islam didasari oleh undang-undang atau qanun-qanun sebagai landasan yuridis atau berupa payung hukum untuk pelaksanaannya. Saat ini yang terkait dengan tugas pengawasan hanya 5 (lima) qanun yaitu

  1. Qanun No 11 tahun 2002 tentang Aqidah, ibadah, dan Syi’ar
  2. Qanun No 12 tahun 2003 tentang minuman khamar dan sejenisnya
  3. Qanun No 13 tahun 2003 tentang Maisir (perjudian)
  4. Qanun No 14 tahun 2003 tentang Khalwat (Mesum)
  5. Qanun No 7 tahun 2004 tentang Pengelolaan Zakat

Sedangkan qanun yang berhubungan dengan zina, pencurian, pembunuhan dan lain-lain belum dikeluarkan. Hal ini menjadi kendala besar dalam pengawasan dan penyidikan. Sebagai contoh, Qanun No 14 tahun 2003 tentang Khalwat (mesum). Berdasarakan fakta dilapangan, dimana sekian kasus yang telah diproses oleh penyidik bahwa pelanggaran Qanun No 14 tahun 2003 bukan lagi dalam kategori khalwat tetapi lebih dari itu (sudah menjurus ke zina). Karena telah memenuhi unsur saksi dan bukti. Yang seharusnya oleh jaksa dituntut dengan jarimah Hudud tetapi karena qanun tentang zina belum ada maka dituntut dengan jarimah Ta’zir (menjerakan). Hal ini sangat bertentangan dengan hukum dan dapat melemahkan institusi yudikatif di mata masyarakat.

Kendala lain, qanun tidak menjelaskan seorang tersangka boleh di tahan oleh penyidik maupun jaksa dalam proses penyidikan, penuntutan dan persidangan karena Qanun belum ada hukum acara. Khusus untuk perkara yanng prosesnya telah tercantum dalam KUHAP seperti khamar (minuman keras) dan Maisir (judi), maka itu digunakan hukum acara pidana sebagai landasan yuridisnya dalam menahan dan memproses tersangka dan pelakunya, tetapi untuk kasus khalwat tidak tercantum di dalam hukum acara pidana sehingga pelaku kasus tersebut tidak bisa ditahan walaupun proses penyidikan belum selesai. Maka dapatlah dibayangkan betapa rumitnya pengamanan tersangka dalam kasus tersebut karena tidak bisa ditahan (sel).

Berikutnya, pada qanun No 11 tahun 2002 tentang Aqidah ibadah dan Syi’ar. Di bidang syi’ar menyangkut tentang pakaian muslim dan muslimah. Dalam pasal 23 menjelaskan barang siapa yang tidak berbusana secara Islami setelah dinasehati tetapi masih melanggar akan dikenakan “ta’zir dengan seringan-ringannya”. Kalimat yang seperti ini sangat relatif untuk dijabarkan atau dipahami. Sebagai contoh, sipelanggar (objek) Qanun No 11 tahun 2002 telah diberikan ta’zir dengan metode dinasehati dan dibuat pernyataan.Akan tetapi objek tersebut masih melakukan hal yang sama pada waktu yang berbeda. Menurut penulis hal demikian disebabkan karena pelakunya (objek) setelah ditanggkap tetap dibiarkan karena tidak ada aturan untuk melakukan tindakan selanjutnya.

2. Minimnya Pemahaman Hukum Bagi Masyarakat

Masih ada kaum muslim yang merasa tidak suka dengan formalisasi Syari’at Islam dalam peraturan daerah yang mengikat perilaku seluruh warga masyarakat. Dalih yang mereka kemukakan ádalah bahwa mereka telah melaksanakan Syari’at Islam. Ketidak sukaan sebagian kaum muslim ini, dikarenakan kesalah pahaman dalam memahami syari’at Islam sebatas aturan ibadah ritual, dan mereka merasa sudah menjalankan Ibadan itu sejak kecil. Padahal syariat Islam ádalah kumpulan ketentuan yang mengatur seluruh urusan manusia, baik yang berkaitan dengan hablumminallah maupun hablumminannas.

Penerapan syari’at Islam pada hakikatnya harus di dasari oleh pemahaman hukum dalam kehidupan masyarakat, selama ini berdasarkan hasil pengawasan lapangan, tingginya pelanggaran hukum salah satunya diakibatkan rendahnya pemahaman terhadap hukum atau rendahnya ilmu agama yang dimiliki masyarakat.

Dengan pemahaman yang rendah mengakibatkan ketakwaan individual yang rendah pula sehingga sering terjadi pelecehan terhadap penerapan syariat Islam bahkan terhadap Islam sendiri.

E. PERAN PEMERINTAH DALAM MELAKSANAKAN SYARI’AT ISLAM.

Pemerintah merupakan pilar yang Sangat penting bagi terlaksana hukum sekaligus sebagai pihak yang berwenang menjatuhkan sanksi atas siapapun yang melanggar aturan-aturan Islam. Pemerintah juga bertanggung jawab menciptakan kesejahteraan dan ketentraman masyarakat disegala bidang. Pemerintah berkewajiban meningkatkan taraf hidup dan menjamin rasa aman masyarakat. Pemerintah dengan seluruh aparatnya bertanggung jawab penuh untuk mengontrol dan mengawasi pelaksanaan Syari’at Islam di Nanggroe Aceh Darussalam.

Dalam melaksanakan tugasnya ini membutuhkan dukungan yang amat besar dari berbagai pihak terutama dari tokoh-tokoh ulama, tokoh-tokoh masyarakat serta dari pemerintah sendiri, dukungan tersebut meliputi:

  1. Dukungan Moril

Dukungan moril merupakan dukungan dalam bentuk non material seperti penyusunan Peraturan Daerah (PERDA) atau Qanun yang diberikan pemerintah terhadap pelaksanaan syari’at Islam, dapat dijabarkan sebagai berikut :

Perda Provinsi Daerah Istimewa Aceh nomor 5 tahun 2000 tentang pelaksanaan Syari’at Islam.

  1. Pasal 3 Bab III: Kewajiban dan Pengembangan dan Pelaksanaan Syari’at Islam

Pemerintah daerah berkewajiban mengambangkan dan membimbing serta mengawasi pelaksanaan Syari’at Islam.

  1. Pasal 5 ayat 2 Bab IV. Aspek Pelaksanaan Syari’at Islam. Pelaksanaan Syari’at Islam meliputi

§ Aqidah

§ Ibadan

§ Muamalah

§ Akhlak

§ Pendidikan dan dakwah Islamiyah/ amar ma’ruf nahi mungkar

§ Baitul maal

§ Kemasyarakatan

§ Syiar Islam dan pembelaan Islam

§ Qadha

§ Jinayat

§ Munakahat

§ Mawaris

  1. Pasal 6 ayat 2 Bab IV: Bagian Kesatu, Pelaksanaan Bidang Aqidah

Pemerintah Daerah bersama-sama dengan institusi masyarakat berkewajiban menanamkan keimanan dan ketaqwaan pada setiap muslim Sejak masa kanak-kanak sampai dewasa.

  1. Pasal 7

Pemerintah Daerah dan masyarakat wajib mencegah dan memberantas segala bentuk tindakan dn/atau perbuatan yang besifat kufur, syirik, kurafat, atheisme dan gejala-gejala lainnya yang mejurus ke arah itu, yang bertentangan dengan aqidah Islamiyah.

  1. Pasal 9 : ayat 1 Bab IV bagian kedua, pelaksanaan bidang Ibadah

Pemerintah Daerah dan institusi masyarakat berupaya untuk mecegah segala tindakan yang dapat mengganggu dan merintangi pelaksanaan Ibadan bagi setiap muslim

Ayat 2: Pemerintah Daerah dan masyarakat berkewajiban membangun, memelihara dan memakmurkan tempat Ibadan Amat Islam.

  1. Pasal 13 Ayat 1 Bab IV Bagian kelima: Pelaksanaan bidang Dakwah Islamiyah

Pemerintah Daerah perlu membangun dan memajukan lembaga pendidikan yang dapat melahirkan manusia yang cerdas, beriman, bertaqwa dan berakhlak mulia.

Ayat 3 : Pemeritah Daerah berkewajiban menumbuhkan / mengembangkan lembaga badan dakwah Islamiyah sehingga dapat melahirkan kader-kader dakwah yang memiliki wawasan keislaman dan keilmuan.

  1. Pasal 16 ayat 1 : Bagian Kedelapan, Peyelenggaraan Syi’ar Islam

Pemerintah Daerah berkewajiban menyelenggarakan pelaksanaan Syi’ar Islam , seperti peringatan hari-hari besar Islam dan mengatur segala sesuatu yang menyangkut dengan Syi’ar Islam.

  1. Pasal 20 ayat 1 : Bab VI, pengawasan dan Penyidikan

Pemerintah Daerah berkewajiban membentuk badan yang berwenang mengontrol/ mengawasi (Wilayatul Hisbah) pelaksanaan ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Daerah ini sehingga dapat berjalan degan sebaik-baiknya.

  1. Dukungan Materil

Dalam hal ini, pemerintah telah memberikan perhatian atau dukungannya dalam bentuk material atau bantuan fisik. Dukungan yang diberikannya seperti pengadaan fasilitas Operasional (2 unit mobil), penyewaan tempat aktivitas administrasi WH di tiga posko (wilayah Timur, Tengah dan Barat), alat komunikasi dan publikasi, serta diberikannya penghargaan (honor) tiap bulan secara isentif. Pembiayaan kesemua fasilitas tersebut telah dianggarkan APBD (Anggaran pendapatan Daerah) DPRK (Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten), dan menurut penulis ini merupakan bukti nyata parsipatif pemerintah terhadap pelaksanaan syari’at Islam di Nanggroe Aceh Darussalam bidang material.

F. PENUTUP

Dalam pandangan penulis, setelah pelaksanaan syari’at Islam di Aceh yang telah diberikan wewenang pengawasannya kepada Wilayatul Hisbah sesuai dengan landasan teori dan praktek di lapangan, belum terlaksana secara maksimal. Namun usaha yang dilakukan sudah sangat maksimal. Oleh karena itu, penulis berharap kepada:

1. Pemerintah : Untuk lebih meningkatkan pro aktifnya terhadap pelaksanaan syari’at Islam baik secara tioritis maupun dalam tataran praktis di lapangan.

2. Masyarakat : Untuk lebih meningkatkan kerjasama yang baik dalam masyarakat dan lebih pro aktif dalam mensosialisasikan qanun syari’at di lapangan, jangan menganggap hal ini hanya tugas dan kewajiban WH saja karena Syariat Islam ádalah untuk keselamatan dunia dan akhirat maka sepantasnyalah kita bekerja sama untuk tegaknya Syariat Islam.